Ancaman Krisis Lahan Produktif di Bangka Belitung Semakin Nyata
“Kita tidak mewarisi bumi ini dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak-cucu kita”. Istilah tersebut sering membanjiri media sosial setiap tahunnya, tepatnya di setiap tanggal 22 April yang diperingati sebagai hari bumi. Hal itu merupakan upaya untuk mengkampanyekan rasa kepedulian kita terhadap bumi. Walaupun terkadang secara sadar atau tidak, perilaku kita masih jauh dari rasa peduli. Hal yang mungkin sering kita lakukan adalah membuang sampah tidak pada tempatnya dan merusak alam dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti mengeruk bumi untuk mengambil mineral yang terkandung didalamnya, kemudian meninggalkannya tanpa upaya untuk memulihkannya kembali. Jika hal tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama dan secara terus-menerus, maka akan menyebabkan terjadinya bencana, sehingga apa yang kita nikmati hari ini, kemungkinan besar tidak akan dinikmati oleh anak cucu kita kelak. Sedangkan jika kita meresapi makna dari istilah di atas, maka sekecil apa pun hal yang kita lakukan, jika itu akan menyebabkan bumi ini rusak, maka harusnya kita bertanggung jawab untuk memulihkannya dan mengembalikannya kepada anak cucu kita dalam keadaan sebagaimana kita meminjamnya.
Entah mengapa, kondisi yang demikian umum terjadi di daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kondisi yang disebabkan oleh kegagalan kita didalam mengendalikan keserakahan atas sumber daya alam, sehingga menyebabkan lingkungan rusak. tanpa terkecuali di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki luas wilayah sebesar 81.725,06 km2, dari luas wilayah tersebut sebesar 16.424,14 km2 merupakan luas daratan, dan 65.301 km2 merupakan luas lautan. Hampir semua wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung baik di darat maupun laut memiliki cadangan timah, sehingga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung disebut world’s tin belt. Kegiatan penambangan timah di Pulau Bangka dan Belitung sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Menurut Sujitno;, (2007) di Pulau Bangka, penambangan timah sudah dimulai sejak pertengahan abad ke 17, sedangkan di Pulau Belitung sejak abad ke 19. Dalam sejarahnya, kegiatan penambangan timah yang dilakukan di Pulau Bangka maupun Belitung telah banyak memberikan dampak bagi Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun masyarakatnya, baik dampak positif maupun negatif.
Bahkan permasalahan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah memposisikan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada posisi yang dilematis atau seperti memakan buah simalakama, jika dimakan salah dan tidak dimakan pun salah. Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Rahman dkk pada tahun 2010 tentang timah Babel diantara globalisasi dan glokalisasi menyimpulkan bahwa Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung disatu sisi berkepentingan untuk mendapatkan pemasukan keuangan daerah guna mempercepat proses pembangunan, sedangkan disisi lain pemerintah dihadapkan pada persoalan kerusakan lingkungan dan perubahan bentang alam yang terakumulasi akibat kegiatan penambangan timah yang telah dilakukan sejak lama tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) pada tahun 2020 mencatat sekitar 1.053.253,19 hektar lahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah berubah fungsi menjadi lahan kritis atau sekitar 64,12% dari luas daratan wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bahkan menurut Jessix Amundian sebagai Direktur Eksekutif Daerah WALHI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengatakan aktivitas tambang timah telah menyebabkan lingkungan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung baik di darat dan laut menjadi rusak. Menurutnya dalam kurun waktu 10 tahun sejak berita ini dimuat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah kehilangan lahan produktif seluas 320.760 hektar[1]. Menurut Ginting dalam Henri et al., (2018) kondisi yang demikian akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan dan penyempitan lahan produktif masyarakat. Bahkan kondisi tersebut terjadi merata dihampir semua wilayah darat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sehingga tidak menutup kemungkinan suatu saat Provinsi yang kaya akan sumber daya alam timah ini akan mengalami krisis lahan produktif, jika tidak ada upaya apapun untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Untuk menyelesaikan permasalahan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidaklah mudah. Apalagi jika hanya mengandalkan upaya penertiban tambang timah illegal, karena upaya tersebut sudah sering dilakukan dan tidak jarang berujung konflik antara pemerintah dengan masyarakat penambang. Seperti konflik pada tahun 2019 silam yang terjadi di Pulau Belitung, menyebabkan petugas Polisi Pamong Praja Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terluka dan tujuh kendaraan operasional dirusak oleh masa. Konflik seperti ini, bukan pertama kali terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Konflik yang lebih besar terjadi pada 2006 silam, dan menyebabkan Kantor Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengalami kerusakan parah. Oleh karena itu, Menurut Swastiwi et al., (2017) dalam buku lintas sejarah perdagangan timah di Bangka Belitung abad 19-20 menyatakan bahwa latar belakang sejarah timah yang telah mengakar sejak masa lalu membuat daerah ini sulit berkembang dengan ditopang oleh ekonomi lain, sekalipun itu lada.
Disisi lain, dampak yang sama juga timbul akibat kegiatan penambangan timah yang dilakukan secara legal. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), dalam pers rilisnya pada tahun 2018, menyatakan bahwa sebayak 1,1 juta hektar lahan yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikuasai 1.343 Izin Usaha Pertambangan. Dengan kondisi yang demikian, Siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?, upaya apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?.


Posting Komentar untuk "Ancaman Krisis Lahan Produktif di Bangka Belitung Semakin Nyata"