Digital Literasi: Modal Demokrasi di Era Digital
Demokrasi menjadi tema yang sangat menarik untuk didiskusikan terutama dalam penerapannya di Indonesia, tidak hanya dikalangan elit politik, akademisi, namun juga di kalangan akar rumput. Pro dan kontra mewarnai dalam penerapannya. Oleh sebagian mereka yang pro, menyakini demokrasi adalah sistem sosial politik yang paling baik, dan tepat untuk Indonesia yang memiliki tatanan masyarakat yang plural. Sedangkan sebagian mereka yang kontra, dipengaruhi oleh sintimen keagamaan yang menyakini demokrasi tidak bisa dipadukan dengan nilai-nilai keagamaan. Negara yang pertama menerapkan demokrasi sebagai sistem dalam bernegara adalah Yunani. Oleh karena itu, secara etimologi demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu demos (rakyat) dan cratos (kedaulatan). Sedangkan secara subtansial, demokrasi seperti yang dimaksud oleh Abraham Lincoln yaitu suatu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pandangan tersebut, demokrasi dipahami sebagai sebuah pemerintahan yang mendapat pengakuan, dukungan, legitimasi dari rakyat, dan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat guna kepentingan atau kesejahteraan rakyat. Dengan demikian demokrasi memposisikan rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan.
Sejarah Singkat Demokrasi di Indonesia
Penerapan demokrasi di Indonesia memiliki catatan sejarah yang cukup panjang, dimulai tahun 1945 sampai sekarang. Ubaedillah membaginya menjadi empat periode. Periode pertama yaitu tahun 1945-1959 dengan sistem demokrasi parlementer. Periode kedua tahun 1959-1965 dengan sistem demokrasi terpimpin. Periode ketiga tahun 1965-1998 dengan sistem demokrasi Pancasila. Periode keempat adalah demokrasi pasca orde baru atau era reformasi. Pada periode pertama sampai ketiga, penerapan demokrasi di Indonesia mendapat banyak kritikan. Seperti Ahmad Syafi’i Ma’arif yang menyatakan demokrasi terpimpin pada periode 1959-1965 adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi karena munculnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri pemimpin, sehingga pada saat yang sama hilangnya control sosial dan check and balance dari legislative terhadap eksekutif. Hal senada juga disampikan oleh Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur dalam mengkritik penerapan demokrasi pada periode 1965-1998 yang mengatakan demokrasi pada masa orde baru adalah “demokrasi seolah-olah”.
Kritikan tersebut menjadi salah satu dasar dari tuntutan kelompok reformis yang menginginkan demokrasi dan HAM dapat ditegakkan secara konsekuen di Indonesia. Kemudian tuntutan tersebut memicu munculnya pemikiran bagaimana mewujudkan demokrasi yang berkeadaban di Indonesia, yaitu demokrasi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilainya, Pancasila dan UUD 1945, sehingga kerukunan dalam tatanan masyarakat plural dapat terwujud di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pendidikan kewarganegaraan yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi, Pancasila, HAM dan Masyarakat Madani. Jika melihat sejarah lahirnya demokrasi dan penerapannya di Indonesia, bahwa konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran para filsuf barat yang diadopsi dan diadaptasi oleh para founding fathers untuk diterapkan di Indonesia. Butuh waktu lama dan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran, penghayatan, perjuangan dan perbaikan, hingga kita bisa merasakan bagaimana berdemokrasi seperti sekarang ini, dimana setiap 5 tahun sekali kita melakukan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakilnya, dan anggota legislatif ditingkat pusat, provinsi dan kabupaten secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Dampak penggunaan teknologi informasi dan komunikasi bagi demokrasi Indonesia
Setelah melalui berbagai kondisi dengan tantangan dan permasalahan yang berbeda dalam berdemokrasi selama ini. Sekarang perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mulai merambah penerapan demokrasi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah dalam proses pemilihan umum yang mulai memanfaatkan media sosial sebagai media kampanye. Itu artinya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi tantangan baru yang akan memberikan dampak bagi demokrasi di Indonesia. Apakah dampaknya positif atau negatif?, dan bagaimana wajah demokrasi kita nantinya?. Semua itu dipengaruhi oleh bagaimana potensi dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dimanfaatkan untuk menegakkan pilar masyarakat demokrasi, seperti keadilan, kebebasan pres, pemilihan umum yang adil, partisipasi warga negara, supremasi hukum. Menurut Shorish, pilar masyarakat demokrasi tersebut secara langsung di pengaruhi oleh ketersediaan, aksesibilitas dan keakuratan informasi. Hal yang senada juga disampaikan oleh Gautam yang menyatakan bahwa informasi adalah inti dari segala proses perkembangan, tanpa terkecuali perkembangan demokrasi di era teknologi informasi dan komunikasi.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini, memungkinkan internet untuk digunakan sebagai alat bantu menegakkan pilar masyarakat demokrasi di Indonesia. Karena internet merupakan media baru yang interaktif dan komunikatif, memungkinkan siapa pun untuk memproduksi, menyajikan, menyebarluaskan dan mengakses informasi baik yang berhubungan dengan pilar masyarakat demokrasi, dimana pun, kapan pun dalam berbagai format. Selain itu, internet juga akan memberikan dampak negative atau pun positif dalam menegakan pilar masyarakat demokrasi di Indonesia. Mengigat internet hanya sebuah alat bantu yang dampaknya dipengaruhi oleh siapa yang menggunakannya?, dan untuk apa penggunaannya?. Ketika internet digunakan oleh orang jahat untuk memproduksi dan menyebarkan informasi hoaks dan ujaran kebencian, maka internet akan memberikan dampak negative dalam menegakkan pilar masyarakat demokrasi. Namun sebaliknya, jika digunakan oleh orang baik untuk menginformasikan kebenaran, maka internet akan memberikan dampak positif dalam menegakkan pilar masyarakat demokrasi.
Informasi Hoax dalam Demokrasi Indonesia
Fenomena Hoax dalam demokrasi Indonesia sangat terlihat jelas saat pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif dari tingkat pusat sampai kabupaten, dimana internet tidak hanya dimanfaatkan untuk memproduksi, menyajikan, menyebarluaskan dan mengakses informasi yang relevan dengan fakta, namun juga informasi hoax. Selanjutnya informasi tersebut akan dikonsumsi oleh masyarakat yang sedang di internet, sehingga akan mempengaruhi prilakunya dalam mengambil keputusan untuk menentukan pilihannya. Berikut menurut Ferdinandu Setu, Plt Kepala Biro Humas Kominfo menjelaskan jumlah informasi hoax yang diproduksi dan disebarluaskan melalui internet meningkat setiap bulannya, terhitung dari bulan Agustus 2018 yang berjumlah 25 informasi hoaks, September 27 informasi hoax, Oktober 53 informasi hoax, November 63 Informasi hoax, Desember 75 informasi hoax, Januari 175 informasi hoax, Februari 353 informasi hoax, Maret 453 Informasi hoax. Sehingga total informasi hoax dari bulan Agustus 2018 sampai dengan Maret 2019 berjumlah 1224 Informasi hoax. Dari jumlah tersebut sebanyak 319 informasi hoax berhubungan dengan politik. Berbagai upaya untuk menekan produksi, penyebaran informasi hoax telah dilakukan, agar tidak memberikan dampak negatif yang signifikan dalam menegakkan pilar masyarakat demokrasi. Seperti membatasi jumlah akun media sosial sebagai media untuk berkampanye dan mengharuskan untuk mendaftarkannya ke Komisi Pemilihan Umum, melakukan koordinasi antara lembaga terkait dalam memitigasi kampanye hitam melalui media sosial, menegakkan Undang-Undang ITE bagi yang melanggarnya, dan memblokir website yang menjadi sumber informasi hoax.
Namun, upaya tersebut nampaknya belum memperlihatkan perubahan yang signifikan yang dapat menekan produksi dan penyebaran informasi hoax melalui internet, terutama informasi hoax yang terkait pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif dari tingkat pusat sampai kabupaten di Indonesia. Oleh karena itu, upaya tersebut harus dibarengi dengan upaya lain yang menjadikan masyarakat demokrasi mampu memilih, memahami informasi, bahkan mengevaluasi, mengintegrasi, mengkritisi, informasi dari berbagai sumber informasi, karena menurut Gitser kita tidak dapat memahami informasi yang didapat di internet tanpa mengevaluasi sumbernya dan menempatkan sesuai konteksnya. Kemampuan itu lah yang menurut Gitser disebut Digital Literasi yang harus dimiliki oleh masyarakat demokrasi agar dapat menegakkan pilar masyarakat demokrasi demi merawat demokrasi ditengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Posting Komentar untuk "Digital Literasi: Modal Demokrasi di Era Digital"