"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian" by Pramoedya Ananta Toer

Masih relevankah pembuatan skripsi sebagai syarat kelulusan?

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah meluncurkan program merdeka belajar episode ke-26 yang disertai dengan diberlakukannya Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Salah satu pasal dalam peraturan tersebut mengatur tentang ketercapaian kompetensi lulusan melalui pemberian tugas akhir bisa membuat skripsi, prototipe, dan proyek, atau dengan kata lain membuat skripsi bukan lagi pilihan satu-satu nya untuk syarat kelulusan dan mendapatkan gelar akademik pada jejang strata satu. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, mendapat banyak respon yang beranekaragam dari masyarakat, ada yang pro dan kontra. Namun tulisan ini  bukan pada posisi keduanya, karena menurut hemat penulis apa pun yang menjadi syarat kelulusan, jika itu yang terbaik dan relevan dengan kondisi kampus dimana mahasiswa tersebut berada, mengapa tidak, karena yang akan mendapatkan manfaatnya adalah mahasiswa itu sendiri, namun sebaliknya, jika kondisi kampus belum relevan dan mendukung untuk itu, pilihan skripsi sebagai syarat kelulusan untuk mendapat gelar akademik dirasa masih sangat relevan, sembari menunggu kesiapan kampus untuk mempersiapkan berbagaimacam pendukung yang dibutuhkan ketika kebijakan tersebut mulai diberlakukan di lingkungan kampus. Namun pada dasarnya pembuatan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan untuk medapatkan gelar akademik memiliki banyak manfaat bagi mahasiswa, dalam prosesnya, banyak hal yang dapat diambil pelajarannya.

1. Belajar bertanggungjawab 

Bagi ku, dalam proses menyelesaikan skripsi, bukan hanya perkara untuk lulus kemudian mendapatkan gelar akademik. Lebih dari itu, dalam proses awal ketika pengajun judul, saya sudah diminta pertangungjawaban oleh dosen pembimbing akademik, banyak pertanyaan yang ditanyakan, mulai dari A sampai dengan Z terkait dengan judul yang diajukan tersebut, terkadang dari banyaknya pertanyaan tersebut, tidak satupun yang bisa aku jawab dengan percaya diri, semuanya penuh dengan ketakutan dan ketidak jelasan, bahkan hampir semua pertanyaan yang ditanyakan tersebut, harus aku jawab dengan kondisi otak butuh loading yang tidak sebentar hanya untuk mencari-cari jawaban atas pertanyaan tersebut. Kalau seperti ini, gumamku dalam hati “bagaimana nanti saat seminar proposal dan sidang skripsi, mungkin lebih dari ini kebodohan ku akan terlihat”.

Setelah pertemuan tersebut berakhir, aku beranjak pulang dengan kepala dipenuhi banyak pertanyaan, yang salah satunya adalah “mengapa proses awal dalam pengajuan judul saja sudah diminta pertangungjawaban seperti ini?”. “Mungkin saja beliau ingin mengetahui seberapa memahaminya aku dengan judul yang diajukan tersebut, dengan demikian, nantinya beliau mudah menentukan treatmen yang tepat ketika aku bimbingan”, begitu gumamku dalam hati.

Oleh karena itu, bagi teman-teman yang akan mengajukan judul skripsi, sebaiknya pahami masalah-masalah terkait dengan judul yang akan diteliti tersebut dengan cara melakukan observasi terlebih dahulu. Observasi bisa dilakukan dengan cara, mengamati langsung objek penelitian, melakukan wawancara tidak terstruktur, atau mempelajari dokumen atau penelitian terdahulu terkait objek penelitian. Dengan demikian, kita akan lebih percaya diri ketika menjawab semua pertanyaan dosen pembimbing saat mengajukan judul.

Belajar melatih kesabaran dan ketekunan

Setelah, judul yang diajukan tersebut diterima, aku pikir proses selanjutnya akan jauh lebih mudah, namun ternyata permasalahan yang dihadapi jauh lebih kompleks dan rumit. Merangkai kata-kata menjadi kalimat untuk mewakili ide yang ada di kepala dan kemudian mengetikkannya dilembar kerja word bukan lah pekerjaan yang mudah, tidak jarang apa yang sudah aku ketik, kemudian dihapus dan diketik lagi. Proses seperti ini berlangsung cukup lama. Aku menyedari hal ini bisa terjadi karena pembendaharaan kata ku yang minim, serta kurangnya pembiasaan menulis.

Belum selesai dengan kegiatan merangkai kata-kata, menentukan teori apa yang akan digunakan, serta mengumpulkan artikel yang relevan dengan teori tersebut menjadi permasalahan selanjutnya yang cukup memusingkan kepala. Pada tahapan ini, aku merasa sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan, bahkan saran dan masukan dari orang lebih berpengalaman sepertinya jauh lebih dibutuhkan. Nongkrong di perpustakaan dan bertemu banyak orang, kemudian menceritakan apa yang menjadi kendala sering aku lakukan. Bahkan hal tersebut menjadi bagian solusi atas masalah tersebut. Di Perpustakaan, aku bisa membaca banyak skripsi yang relevan dengan penelitian yang akan aku lakukan, bahkan, di Perpustakaan juga akun dapat mencari artikel-artikel yang relevan dengan kebutuhan penelitian ku.

Setelah penuh perjuang untuk melewati itu semua, selanjutnya aku dihadapkan pada permasalahan bagaimana mengutip sebuah artikel. Sebelum mengetahui caranya, yang aku lakukan adalah mengutip teori dari teori yang dikutip artikel tersebut. Sebelumnya, aku kira prilaku mengutip seperti itu benar, bahkan prilaku tersebut lama aku praktekkan dalam banyak tulisan. Namun seiring waktu, aku baru menyadari ternyata prilaku mengutip seperti itu kurang tepat atau keliru, dan hal tersebut aku sadari, ketika seorang teman bertanya “mengapa tidak mencari langsung dari sumber utamanya, kan bisa dilihat dan ditelusuri dari daftar pustakanya”. bahkan menurutnya, jika aku membaca dari sumber utamanya langsung, mungkin aku akan memiliki interpretasi yang berbeda, dengan penulis artikel lainnya yang juga mengutip teori tersebut. Apa yang teman ku katakan tersebut, memang tidak dapat aku bantah, dan aku pun berusahan cukup lama untuk memahaminya, memahami bahwa memang ketika mengutip artikel itu bukanlah mengutip teori dari teori yang dikutik artikel tersebut, tetapi yang dikutip adalah pokok pikiran dari artikel tersebut.

Seiring dengan waktu, secara perlahan dan pasti proposal skripsi yang aku buat telah menunjukan progres yang berati, sehingga fokus selanjutnya adalah membuat metode penelitiannya. Pada bagian ini, awalnya aku sangat percaya diri karena untuk matakuliah filsafat ilmu dan metode penelitian, aku mendapatkan nilai A. Namun seiring waktu berjalan, aku memiliki kendala yang cukup serius untuk menjelaskan bagaimana penelitian ini akan aku lakukan, bagaiman aku menentukan sempelnya dan bagaimana analisisnya nanti. Namun pada akhirnya semua itu berhasil aku lewati, hingga tiba waktunya aku harus mempresentasikan proposal skripsi yang telah aku buat tersebut di depan teman-teman dan dosen pembimbing. Masih segar diingatan saat pertama kali aku mengajukan judul, aku tidak ingin jatuh pada lubang yang sama. Oleh karena itu, semuanya aku persiapkan sedemikaian rupa agar saat seminar proposal aku tidak terlihat bodoh didepan teman-teman dan dosen pembimbing ku, dan ternyata memang proses tidak akan menghianati hasil, aku bisa memaparkan dan menjawab dengan percaya diri terkait dalam seminar proposal tersebut.

Belajar untuk percaya diri

Setelah seminar dan perbaikan proposal selesai, aku tidak langsung memulai babak selanjutnya. Butuh waktu yang tidak sebentar, untuk aku berdamai dengan diri sendiri, dan mempersipakan segala sesuatu yang dibutuhkan. tepatnya kurang-lebih dua minggu setelah seminar dan perbaikan proposal. Aku terjebak dalam kondisi yang diciptakan oleh pikrianku sendiri, “mau diletakan dimana muka ini, ketika harus turun kelapangan, membawa banyak lembaran kuesioner yang ditenteng dalam keresek berwarna hitam, kemudian menghampiri banyak kerumunan orang, dan meminta waktu mereka agar mau mengisi lembaran demi lembaran dari kuesioner tersebut”, demikianlah pikiran ku selama ini dan pikiran tersebut selalu memenuhi ruang kepala ku, hingga membuat tubuhku kaku untuk memulai babak baru ini.

Waktu demi waktu, hari demi hari dilalui, dan pikiran itu masih sama dan tetap memenuhi ruang kepala ku. Sampai pada suatu waktu, apa yang aku pikirirkan tersebut, aku ceritakan dengan teman. Ya sebenarnya aku bisa saja menghalalkan berbagai cara agar data ini aku dapatkan, misalnya saja dengan memproduksi data sendiri, atau aku bisa membayar orang lain untuk melakukan ini. Namun, Semua itu tidak aku lakukan, dengan berbagai pertimbangan, yang salah satunya adalah aku tidak ingin merusak proses yang sudah dilalui sejauh ini. Dan aku lebih memilih untuk menceritakan dengan teman dan meminta nasehatnya, dari sekian banyak nasehat, ada beberapa nasehat yang sedikit menyentuh hatiku dan menjadi bahan renungan ku, yaitu ketika ia menyatakan “dengan kamu memulai, akan ada dua kemungkinan yang terjadi, skripsinya selesai atau tidak, sedangkan jika kamu tidak dimulai, hanya ada satu kemungkinan yaitu skripsi ini tidak akan selesai”.

Setelah merenungkan nasehat tersebut, aku mulai mencoba untuk memulai babak baru ini. Benar saja apa yang aku pikirkan selama ini gumamku dalam hati. Hari pertama menyebarkan kuesioner, semua berjalan sangat janggal, dan rasa malu masih lebih dominan mempengaruhi langkah-langkah ku untuk menghampiri kerumunan orang, dan pada hari itu dapat dipastikan tidak berjalan dengan maksimal.

Pengambilan data yang awalnya aku rencanakan tiga hari selesai, sepertinya harus molor. Selanjutnya, hari kedua, aku tidak sendirian, walaupun pada hari pertama juga aku tidak sendirian, ditemani oleh temanku. Maksudnya, ditempat aku menyebarkan kuesioner tersebut juga ada seorang seles yang sedang menyebarkan brouser. Lama mataku memandanginya, sepertinya seles tersebut sudah berdamai dengan dirinya, omonganku dalam hati. Telihat dia begitu percaya diri menghampiri setiap kerumunan orang, untuk memberikan brouser yang ada ditangannya.

Kemudian langkah kakiku perlahan menghampiri seles tersebut, tepatnya disela-sela waktu istirahatnya. Dalam kesempatan tersebut, aku lebih banyak bertanya kepada nya tentang bagaimana dia bisa sepercaya diri itu ketika menghampiri kerumunan orang tanpa ada rasa malu. Setelah mendengarkan jawaban dan ceritanya, secara perlahan kepercayaan diri ku sudah mulai terbangun dan berhasil mengendalikan rasa malu yang sebelumnya cukup dominan mempengaruhi ku, sehingga hari-hari selanjutnya aku bisa lebih percaya diri untuk melanjutkan proses yang sudah aku mulai ini, dan singkat cerita semua kuesioner yang sudah terisi, sudah sesuai target.

Belajar berfikir secara empiris untuk hasil yang realistis

Proses panjang dalam membuat skripsi tersebut telah aku lalui. Benar kata orang bahwa proses tidak menghianati hasil. Seandainya dulu semua aku kerjakan secara asal-asalan, mungkin dengan pekerjaan ku sekarang, aku akan terlihat bodoh, ketika menjelasakan semua tentang skripsi. bahwa dalam proses pembuatan skripsi tersebut, bukan hanya tentang lulus dan juga gelar, namun didalamnya mengajarkan tentang berfikir secara empiris untuk sebuah hasil yang realistis.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

Label

Buku (1) DDC (1) Greenstone (1) Jurnal (6) Mendeley (3) Pendidikan (14) Perpustakaan (15) Puisi (1)

Recent Posts

Pengunjung